Thursday, March 17, 2011

Jurnal Aspek Hukum Dalam Ekonomi 2

PERKEMBANGAN DOKTRIN TINDAKAN NEGARA (ACT OF STATE DOCTRINE) SETELAH KONSEP KEKEBALAN NEGARA (TEORI IMUNITAS)

Moch. Basarah

Abstract

The concept of absolute immunity is not longer preserved because of recognition against act of state doctrine. However, notwithstanding the cease of the concept, the protection of state sovereignty remains firmly in place. The protection of absolute immunity can be granted when a state act in iure imperii, but not it related to matters of a commercial nature. Act of state doctrine will be deemed as a state act, provided that it is conducted within the territorial jurisdiction. Thus, the doctrine can be use to determine whether it is iure imperii or iure gestiones.

Kata kunci: imunitas mutlak, kekebalan negara, act of state doctrine.

A. Pendahuluan

Kedaulatan merupakan aspek utama dalam pergaulan negara yang satu dengan lainnya (dan organisasi-organisasi negara) yang diatur oleh hukum. Brownlie mengatakan bahwa kedaulatan suatu negara akan menentukan bentuk hukum negara tersebut sedangkan hukum akan menentukan syarat adanya kedaulatan. Pengertian kedaulatan ini memang merupakan kata yang sulit karena dapat menimbulkan arti yang berlainan. Jika arti kedaulatan itu dimaksudkan bahwa negara mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengertian inilah yang banyak menimbulkan salah paham Karena tidak mungkin hukum internasional mengikat negara, jika negara merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui kekuasaan yang lebih tinggi.

Pengertian kedaulatan negara ini apabila dikaitkan dengan tindakan negara (act of State) misal pengambilalihan hak milik orang asing, pencabutan ijin usaha orang asing dan sebagainya ternyata mengalami perkembangan yang pesat. Permasalahan yang timbul dari tindakan negara tersebut adalah apakah tindakan negara dari suatu negara berdaulat dapat dituntut oleh suatu pengadilan di luar wilayahnya.Gerald Fitzmaurice mengemukakan dua hal; (a) mengakui kekebalan negara secara mutlak dari proses persidangan apapun kecuali atas kesukarelaan; (b) membedakan antara tindakan negara dan tindakan non negara, dengan mengakui kekebalan bagi tindakan negara dan menolak kekebalan bagi tindakan non negara.


Pada mulanya konsep kekebalan negara yang dianut adalah kekebalan mutlak, namun konsep kekebalan mutlak ini hanya bisa bertahan sampai abad ke 19.Hal tersebut disebabkan karena terjadinya praktek hukum pengakuan terhadap doktrin tindakan negara, sehingga pendukung doktrin kekebalan absolut menjadi berkurang. Karena pada kenyataanya penerapan kekebalan absolut sangat sulit dilakukan. Namun demikian, dalam yurisprudensi beberapa negara, perlindungan terhadap suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya, hanya diberikan apabila negara yang bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai suatu negara dengan kekuatan politisnya bukan sebagai pedagang

Di Inggris penerapan konsep kekebalan negara sangat dibatasi, yang hanya dapat diterapkan pada aktivitas-aktivitas publik dan pemilikan hak untuk tujuan publik. Sedangkan Amerika Serikat, kekebalan negara ditolak jika tindakan-tindakan negara yang dilakukan tidak berkaitan dengan fungsi pemerintah. Sedangkan di Belanda dan Jerman kekebalan negara hanya diberikan terhadap tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai imperium. Tetapi dalam praktek khususnya di Belanda tidak dapat menerapkan konsep tindakan negara atas hak milik orang asing (property) dan aktivitas-aktivitas negara asing berdasarkan kedaulatannya. Karena sulitnya untuk membedakan antara tindakan negara dalam kapasitasnya sebagai negara berdaulat (acta imperii) dan tindakan negara dalam melakukan aktivitas ekonomi (acta gestionis), terutama sebelum tahun 1943.

Perbedaan pendapat antara penerapan konsep kekebalan negara yang mutlak (absolut) dan kenyataan dalam praktek berbeda di setiap negara. Disatu pihak banyak perusahaan negara maju yang telah melakukan investasi untuk mengembangkan usahanya di negara lain. Tetapi dilain pihak dalam beberapa kasus terdapat tindakan negara yang diadili pengadilan asing berkenaan dengan pengambilalihan namun tidak pernah dilakukan eksekusi atas putusan pengadilan asing tersebut.

1. Teori Imunitas

Konsep kekebalan negara sebenarnya telah menjadi pusat perhatian dan perdebatan para ahli hukum internasional sejak abad ke 19. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terdapat suatu fenomena baru yaitu usaha kodifikasi hukum internasional yang mendorong ke arah penetapan posisi negara-negara dan kelompok-kelompok negara dalam kaitannya dengan kekebalan negara. Terhadap masalah kekebalan negara, menunjukan bahwa perkembangan hukum kekebalan negara tidak perlu membahasnya secara khusus, karena sebagian besar sumber hukum kekebalan negara diperoleh dari keputusan-keputusan pengadilan sebagai bukti praktek negara dalam bidang ini. Tetapi saat ini terdapat kecenderungan ke arah pembatasan kekebalan negara pada tingkatan-tingkatan tertentu yang disebut iure imperii. Oleh karena itu, tidak ada negara yang mengeluarkan kebijaksanaan yang bertentangan dengan kecenderungan ini.

Adanya kecenderungan untuk membatasi kekebalan negara, masalah kekebalan negara dari yurisdiksi negara lain tetap merupakan bagian penting hukum internasional. Karena kekebalan negara pada dasarnya mencerminkan struktur hubungan internasional yang diatur oleh hukum internasional. Dan salah satu ciri kedaulatan adalah kekebalan negara dari campur tangan atau gangguan dalam pergaulan internasional. Oleh karena itu, masalah kedaulatan sangat erat hubungannya dengan yurisdiksi negara. Namun, dalam hukum internasional prinsip kekebalan negara harus diartikan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban (positif), agar prinsip ini dapat mendefinisikan tindakan-tindakan yang melanggar dan tidak melanggar hukum.

Terhadap konsep kekebalan negara sebagian ahli memandang adanya perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara, karena turut campurnya negara dalam bidang perekonomian nasional dan internasional yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi negara pada umumnya. Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara, menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.



Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk hubungan ekonomi biasa Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi internasional terdapat dua bentuk (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan langsung dengan negara-negara lain sebagai pemerintah; (2) hubungan melalui perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara.

Lain halnya jika perusahaan-perusahaan negara dianggap sebagai organ negara dalam kaitannya dengan konsep hukum internasional, maka dalam keadaan-keadaan tertentu perusahaan negara berhak menuntut kekebalan. Karena tidak ada ukuran-ukuran yang diakui secara universal dalam hukum internasional untuk mendefinisikan perusahaan negara sebagai organ negara atau kekayaan negara. Karena dilain pihak perusahaan milik negara dipandang sebagai badan hukum terpisah dan memliki otonomi finansial dan ekonomi tertentu. Sedangkan menurut Undang-undang Hukum Perdata negara-negara sosialis di Eropa, perusahaan milik negara tidak bertanggung jawab atas utang negara, demikian pula negara tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan negara. Perlu pula diketahui bahwa perusahaan negara meskipun tidak diakui sebagai pemilik asetnya, tapi dapat bertindak untuk kepentingan sendiri baik tanggung jawab maupun kewajibannya.

Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan negara Barat berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.

KPE Lasok dalam membahas kasus Rorimplex, berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara pada umumnya tidak memiliki keinginan sendiri, tapi hanya menjalankan keinginan Pemerintah. Namun, dalam beberapa hal organ negara mempunyai hak untuk mengadakan perjanjian dengan perusahaan-perusahaan atau individu-individu dari negara lain (asing), meskipun kedudukannya untuk melakukan kegiatan ekonomi atau bisnis nampaknya sulit.

Keragaman isi kontrak yang dilakukan oleh organ negara, memberikan bukti bahwa hukum kontrak sangat berbeda dari kasus ke kasus dan dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi pada penerapan kekebalan negara. Oleh karena itu, pemberian kekebalan bagi negara yang terlibat dalam kontrak antar negara dapat memperkuat kedudukan hukum, ekonomi dan politik negara-negara tersebut dalam hubungan mereka dengan perusahan-perusahaan asing. Berdasarkan hal tersebut tidak realistis jika kekebalan negara hanya dapat diperluas ke dalam jenis-jenis kontrak antar negara tertentu.

2. Doktrin Tindakan Negara (Act of State Doctrine)

Dalam hubungannya dengan kekebalan negara, terdapat sebuah doktrin yang disebut doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau Secondary Immunity. Doktrin tindakan negara telah lama menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh perubahan yurisprudensi Inggris. Di Inggris dan Amerika Serikat kasus-kasus tindakan negara relatif langka dan kurang mendapat perhatian selama bertahun-tahun sebelum kasus Sabbatino. Tetapi kasus-kasus yang terjadi telah memperlihatkan suatu indikasi bahwa doktrin tindakan negara akan cukup penting dimasa mendatang. Sebagaimana timbulnya aktivitas-aktivitas negara dalam bidang ekonomi. Doktrin ini tampaknya baru dapat diberlakukan, jika perisai kekebalan negara dapat ditembus.

Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan hukum negara asing dapat diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain.

Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan oleh kekuasaan eksekutif atau administratif dari suatu negara merdeka dan berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah[. Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul dalam berbagai bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.

Di negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negara-negara Anglo Saxon akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan negara tidak memiliki otoritas lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, seperti dalam perkara Underhill.

Namun, tampaknya putusan pengadilan Inggris telah memberikan pengaruh lebih penting dalam penerapan doktrin ini. Prinsip doktrin tindakan negara dalam bentuknya yang modern dapat diketahui dari kasus Hatch lawan Baez. Hakim Gilbert yang menangani kasus tersebut menyatakan :

“Berdasarkan sikap saling menghormati di antara bangsa-bangsa dan hukum internasional, pengadilan suatu negara tidak dapat mengadili tindakan-tindakan dari pemerintah negara lain yang dilakukan di dalam wilayahnya sendiri”

Dalam kasus tersebut, sebagaimana telah diputuskan oleh Hakim Gilbert tindakan-tindakan yang dilakukan oleh tergugat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Presiden Republik San Domingo, yang dianggap cukup untuk dijadikan dasar keputusan Pengadilan mengenai kekebalan pribadi yang dinikmati pejabat-pejabat pemerintah negara asing atas tindakannya yang dilakukan sesuai kapasitasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

“Meskipun individu tersebut kebal terhadap gugatan pengadilan asing, tetapi pelaksanaan kedaulatan suatu negara harus memelihara perdamaian dan harmonisasi di antara bangsa-bangsa”

Dari simpulan ini tampak bukan saja negara yang dipandang mempunyai kekebalan (ratione personae), tetapi juga tindakan-tindakannya harus dianggap kebal dan tidak dapat diuji oleh hakim asing. Inilah suatu imunitas ratione materae atau juga doktrin tindakan negara.

Untuk mengantisipasi kasus-kasus selanjutnya, perlu adanya keselarasan antara pengadilan dengan pihak organ negara terkait, terutama dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan negara asing yang berdaulat untuk menerapkan dan mengakui hak-hak negara asing yang didasarkan pada niat baik yang dituntut pada kehidupan masyarakat internasioal yang merupakan bangsa-bangsa beradab.

Di samping itu, batas-batas doktrin tindakan negara dapat ditemui melalui peraturan-peraturan yang biasa digunakan dalam Conflict of Laws. Sehubungan dengan hal tersebut dapat dikemukakan : (a) jika negara asing yang berdaulat atau wakil-wakilnya sebagai tergugat, caedit questio, berlaku doktrin kekebalan negara; (b) jika tindakan negara tersebut menimbulkan gugatan di antara pihak-pihak swasta, dan sengketa tersebut kemudian mengarah pada hukum asing, maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata internasional; (c) jika kerugian dilakukan berdasarkan lex loci delicti commisi, maka pengadilan forum harus menanganinya jika tergugat setuju atas gugatan tersebut; (d) jika suatu konfiskasi atas harta benda telah terjadi, maka lex rei sitae akan berlaku, jia tidak bertentangan dengan hukum internasional; (e) jika keabsahan suatu Undang-undang negara asing menjadi masalah, maka hakim harus dapat menempatkan kedudukannya agar tidak bertentangan dengan negara asing tersebut.

Bankes, yang melakukan pendekatan dari segi hukum perdata internasional, mengatakan bahwa pada kenyataannya lex rei sitae didasarkan pada pertimbangan kebijaksanaan publik negara forum (public policy of the forum) yang tidak dapat dihindari. Selanjutnya Warrington mengatakan, bahwa pada prinsipnya keabsahan tindakan-tindakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, baik yang berkaitan dengan harta benda maupun orang tidak dapat diuji oleh pengadilan suatu negara selama tindakan tersebut berada dalam yurisdiksinya.

Berdasarkan uraian di atas, bermacam-macam pendapat mengenai doktrin tindakan negara, tidak perlu dibandingkan apakah doktrin tersebut merupakan ketentuan hukum internasional publik atau apakah harus dikarakteristikan sebagai ketentuan hukum perdata intenasional. Karena tidak ada prinsip hukum internasional publik yang mensyaratkan penerimaan ketentuan tersebut melalui pengadilan nasional. Dan tidak pernah ada gugatan di pengadilan internasional sebagai akibat gagalnya menerapkan doktrin tindakan negara.

C. Praktek Act of State Doctrin Yang Melibatkan Indonesia

Dalam perkara ini penggugat (Industrial Invesment Development Corporation, Indonesia Industrial Invesment Corporation, Ltd. dan Forest Products Corporation Ltd.) telah mengadakan kerjasama dengan pihak PT. Telaga Mas untuk bersama-sama melakukan logging serta mengekspor kayu keberbagai negara, antara lain Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia telah memberikan kemungkinan untuk memperoleh konse­si hutan di wilayah Kalimantan melalui PT Telaga Mas. Untuk kepentingan tersebut para pihak telah membuat suatu joint venture agreement pada tahun 1970.

Pihak tergugat Mitsui (Multinational Corporation Mitsui and Co. Ltd. dan Mitsui and Co. Ltd. (USA) dianggap telah membuat suatu perjanjian dengan pihak PT. Telaga Mas yang kemudian dianggap merugikan penggugat. Pengaruh hubungan PT. Telaga Mas dan Mitsui, menyebabkan PT. TELAGA MAS tidak melanjutkan final agreement. Dengan demikian dapat diketahui putusnya hubungan hukum antara PT. Telaga Mas dengan penggugat disebabkan adanya intervensi pihak Mitsui.

Atas dasar sengketa tersebut Dirjen Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia melarang melanjutkan persetujuan yang telah dilangsungkan antara perusahaan joint venture (penggugat dengan PT. TELAGA MAS) dengan pihak pemerintah Indonesia. Hal ini dijadikan dasar oleh pemerintah Indonesia untuk membatalkan persetujuan melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menganggap bahwa pihak yang mewakili PT. TELAGA MAS dalam joint venture tidak mempunyai wewenang untuk mewakili perusahaan tersebut dalam penandatanganan joint venture agreement. Dengan demikian Pemerintah menganggap tidak dapat mengeluarkan ijin HPH kepada joint venture yang telah dibuat antara PT. TELAGA MAS dengan penggugat.

Dalam kasus ini penggugat melalui pengadilan Amerika Serikat yaitu District Court Texas meminta ganti rugi berdasarkan Antitrust Law Amerika, yaitu Sherman Act; karena menganggap adanya pelanggaran praktek anti competitive, berkenaan dengan operasi penebangan kayu dan sebagainya di Kalimantan. Pihak Mitsui telah mengajukan suatu permohonan sidang kilat, dengan mengajukan eksepsi act of State doctrine tuntutan ganti rugi penggugat terhadap pemerintah Indonesia tidak dapat dilanjutkan. Dalam tingkat pertama argumen Mitsui dibenarkan dan pengadilan menganggap bahwa penolakan suatu konsesi kehutanan untuk penebangan kayu bagi penggugat yang dilakukan oleh Dirjen Kehutanan merupakan tindakan pemerintah Indonesia yang diakui oleh Amerika Serikat. Dengan ditolaknya ijin HPH, penggugat tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi karena dasar penolakan ijin HPH oleh Dirjen Kehutanan RI memiliki alasan yang kuat. Menurut District Court Texas, perkara tersebut tidak termasuk wewenang hakim AS, oleh karena itu gugatan pihak penggugat tidak dapat diperiksa dan eksepsi tergugat dikabulkan.

Dalam tingkat banding pihak penggugat (Industrial Invesment Development) memperoleh putusan yang berlainan, karena dalam putusannya argumen Act of State doctrine tidak dipersoalkan, dengan perkataan lain pengadilan banding menolak argumen Act of State doctrine tergugat. dasar putusan tersebut, perkara gugatan penggugat kepada tergugat dapat dilanjutkan, untuk itu perkara harus diperiksa ulang. Pengadilan Banding menganggap bahwa argumentasi Act of State Doctrine tidak tepat digunakan karena kerugian yang terjadi disebabkan tindakan penggugat yang berkomplot dengan pihak PT. TELAGA MAS dengan tindakan mengahangi kompetisi bebas, sehingga ijin HPH ditolak oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian terdapat satu fase sebelum adanya penolakan ijin HPH, yang ternyata pihak tergugat telah melakukan tindakan persekongkolan dengan pihak PT. Telaga Mas yang tadinya merupakan partner penggugat.

Penggugat dalam pengadilan banding mengajukan tiga masalah agar Act of State Doctrine tidak berlaku.Para tergugat tidak dapat mengelak dari tanggung jawab untuk ganti rugi yang disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri yang tercela, perbuatan-perbuatan mana harus dilihat secara berdiri sendiri dan terpisah walaupun perbuatan dari Pemerintah Indonesia menambah kerugian yang telah diderita para penggugat; sehinga tidak diberikannya ijin HPH kepada penggugat (joint Venture) oleh pemerintah Indonesia dapat dianggap bukan sebagai tindakan Pemerintah, tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu dalam melakukan Forestry Agreement dengan joint Venture bersangkutan. Jika melihat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang HPH dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi terdapat ketentuan yang menyatakan, bahwa syarat-syarat dan cara mengajukan permohonan serta cara memberikan hak pengesahan Hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Sedangkan Pasal 11 ayat (1) mengatakan “Hak Pengusahaan Hutan diberikan oleh Menteri Pertanian setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan”. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah argumentasi penggugat yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah Indonesia bukan sebagai tindakan pemerintah (berdaulat) tapi lebih dapat dilihat seperti membuat suatu perjanjian tertentu. Jika diteliti, pendapat penggugat dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 11 (1), tampaknya ketentuan ini tidak memberi peluang pemberian ijin HPH dengan suatu perjanjian tertentu.

Dalam kaitannya dengan kasus di atas, dapat dipastikan jika para pihak merupakan perusahaan penanaman modal asing, maka sebelum melakukan kegiatannya terlebih dulu akan mengikuti ketentuan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan PMA yaitu menandatangani perjanjian penanaman modal asing (PMA). Baik dalam bentuk perjanjian jaminan PMA (Invesment Guaranty Agreement) maupun perjanjian penanaman modal antara perusahaannya dengan Pemerintah Indonesia yang di dalamnya terdapat klausul penyelesaian sengketa atau suatu consent yang bentuknya kesepakatan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase ICSID. Konsekuensi dari isi klausul tersebut, bagi pihak yang wan-prestasi harus mentaatinya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan pihak penggugat pemberian HPH merupakan perjanjian tertentu artinya terdapat dalam perjanjian penanaman modal, tidak mungkin jika di dalamnya tidak termasuk consent tersebut yang mengarah ke arbitrase ICSID (centre). Karena biasanya bagi pihak asing pilihan hukum atau pilihan pengadilan tersebut merupa­kan komponen yang sangat penting dan tidak pernah diabaikan.

Dengan demikian bagi pihak penggugat jika men­ganggap dengan tidak diberikannya ijin HPH oleh pihak pemerintah Indonesia sangat merugikan. Maka dengan dasar perjanjian tersebut, sebenarnya dapat melakukan gugatan secara langsung sesuai dengan ketentuan Konvensi Washington 1965 (Konvensi tentang Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal) yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1968, yaitu melalui arbitrase ICSID.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ditolaknya ijin HPH oleh pemerintah Indonesia dilakukan atas dasar tindakannya sebagai suatu negara berdaulat (public act atau iure imperii), karena jika tindakan suatu negara atas dasar tindakannya dalam kapasitas iure gestiones (commercial act) harus dilakukan oleh Perusahaan Negara (BHMN). Tindakan Pemerintah Indonesia untuk tidak memberikan ijin HPH kepada perusahaan Joint Venture tersebut dilakukan sebagai tindakan prefentif yang merupakan jalan keluar bagi pengamanan hutan karena terjadinya sengketa pihak pengelola hutan yang kemungkinan akan melalaikan kewajibannya.

Demikian pula, jika melihat latar belakang kasus ini ternyata para pihak yang keduanya merupakan perusahaan swasta asing berbadan hukum Indonesia, sesungguhnya harus mentaati ketentuan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya tindakan Pemerintah Indonesia merupakan hal yang wajar, walaupun keyataannya merugikan para pihak. Karena jika kembali kepada dasar gugatan dalam proses pengadilan pertama (pengadilan District Court Texas), sesungguhnya dasar gugatan tersebut tidak dapat dilepas dari masalah pemberian ijin HPH Pemerintah Indonesia.

Dengan demikian jika tergugat mengemukakannya berdasarkan Act of State doctrine, menurut hemat penulis adalah tepat. Bahkan sampai tingkat bandingpun argumen Act of State doctrine ini dapat di pertahankan. Hal ini jelas, jika melihat pendapat penggugat yang mengatakan bahwa tindakan Pemerintah Indonesia bukan merupakan tindakan negara berdaulat yang diakui oleh Amerika sebagai negara forum. Maka dapat disimpulkan bahwa penggugat memisahkan sebab dan akibat dari perkara bersangkutan, apakah sistem hukum negara bagian Amerika Serikat menganut ketentuan ini?. Karena tidak mungkin terjadi suatu sengketa tanpa didahului oleh suatu hubungan hukum, sedangkan hubungan hukum ini merupakan dasar yang penting untuk mengajukan suatu gugatan.

Apabila melihat peraturan khusus masalah imunitas dari negara-negara yang menghadapi perkara tersebut. Secara khusus di Amerika Serikat telah dibuat peraturan yang dinamakan Fereign Soverign Immunity Act 1976. Dalam ketentuan tersebut, terdapat pengecualian umum atas imunitas mengenai yuridiksi terhadap suatu negara asing, yang dirumuskan sebagai berikut:(1) Apabila negara bersangkutan telah melakukan suatu kegiatan komersil (commercial activity) yang telah dilakukan di dalam wilayah Amerika Serikat, atau; (2) Apabila dilakukan suatu perbuatan dialam wilayah Amerika Serikat dalam hubungan dengan suatu kegiatan komersil dari negara asing di tempat lain ; (3) atau apabila suatu perbuatan di luar wilayah Amerika Serikat tetapi dalam hubungannya dengan suatu aktivitas komersil dari negara asing di luar negeri dan perbuatan tersebut telah menyebabkan suatu akibat langsung (causes a direct effect) di Amerika Serikat maka tidak berlaku imunitas.

Atas dasar peraturan khusus ini, tampaknya pengadilan di AS menerima Act of State doctrine dengan prinsip teritorialitas yaitu jika perbuatan dilakukan di dalam wilayah AS, imunitas bagi sebuah negara tidak berlaku. Hal ini menunjukan bahwa penafsiran Act of State doctrine di Amerika Serikat telah menjurus pada suatu penafsiran yang sempit, yang oleh sebagian pengamat dianggap tidak selaras dengan kondisi modern kehidupan internasional dewasa ini.

Apakah penolakan Act of State doctrinee oleh Pengadilan Banding yang menyatakan Act of State Doctrine tidak menghendaki pengadilan Amerika Serikat melindungi pihak tergugat untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berdiri sendiri, merupakan akibat langsung untuk keadaan Amerika yaitu hubungan baik dengan Pemerintah Indonesia atau akibat langsungnya berupa Restraint and monopolize foreign Commerce seperti yang dianut AS dalam Antitrust Law-nya, yang memperluas jangkauan teritorialitas menjadi ekstrateritorial dengan kebijaksanaan dalam bidang perdagangan dan perekonomian non kompetitif, sehingga sebuah organisasi dapat mengajukan suatu pembelaan dari tindakan suatu negara (asing) berdasarkan antitrust Law AS.

Oleh karena itu, jika pendirian pengadilan banding di AS tersebut mengikuti tuntutan penggugat merupakan hal yang wajar karena pengadilan di A.S memperoleh otoritas untuk mempertahankan pendiriannya bukan berdasarkan hukum internasional.Pemberian otoritas ini diperoleh pengadilan-pengadilan AS seba­gai konsekuensi pemisahan kekuasaan atau Separation of Powers yang dianut Undang-undang Dasar AS.

D. Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Kekebalan mutlak suatu negara saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena adanya aktivitas-aktivitas negara dibidang ekonomi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya.

  2. Berakhirnya konsep kekebalan mutlak bukan berarti negara-negara tidak mempunyai perlindungan atas kedaulatannya. Karena perlindungan kekebalan mutlak dapat diberikan jika suatu negara bertindak sesuai dengan kapasitasnya (tindakan politik) atau iure imperii. Tetapi jika suatu negara bertindak karena aktivitas-aktivitas ekonominya (commercial act) atau iure gestiones perlindungan kekebalan mutlak tidak dapat diberikan.

  3. Yang paling penting dalam hal doktrin tindakan negara (Act of State Doctrine) atau imunitas sekunder, bahwa tindakan suatu negara akan diakui sebagai tindakan dalam kapasitasnya (iure imperii) jika tindakan tersebut dilakukan dalam yurisdiksinya. Dan tindakan di dalam wilayah yurisdiksi tersebut akan menjadi ukuran apakah merupakan tindakan iure imperii atau iure gestiones.

Daftar Pustaka:

Andras Bragyova, Reflection Immunity of State from the Point of View of International Law, in Question of International Law, Hanna Bokor-Szego ed., Kluwer, 1986

Bistline-Loomis, The Foreign Soverign Immunities Act in Practice, AJIL vol. 73, 1979

D.P. O’Connel, International Law, London, 1965

Gerald Fitzmaurice, State Immunity from Proceedingin Foreign Courts, BYIL vol.14/1933

Gerald von Glahn, Law Among Nation, New York, 1981

Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Clarendon Press, London, 1990

Ita Gambiro, Perjanjian Lisensi dan Technical Assistence, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 1990

JHL Morris, Cases on Private International Law, London, 1960

Michael Singer, The Act of State Doctrine of the United Kingdom an Analysis With Comparison to United States Practice, AJIL 75/1981

Michael Zander, The Act of State Doctrine, in The International Law in Twentieth Century, New York, 1966

Mochtar Kusumaatmadja & Eti R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, 2003,

Putusan United States Court of Appeal, 5th, circuit, Aprl. 25-1979

Richard Falk, The Role of Domestic Courts in International Legal Order, Cyracus, 1964

Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State before National Authorities, Collected Course HAIL, Leiden, 1976

Sompong Sucharitkul, Immunities of Foreign State Before National Authorities, NILR vol.10, 1976

Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980

Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, Jkt, 1976

Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, Alumni, 1975

United States; Foreign Soverign Immunities Act 1976.

UU No. 25 tahun 20077 tentang Penanaman Modal.

W. Friedmann, Some Impact of Social Organization on International Law, AJIL vol.50

PP No. 6 tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan dar Hutan Industri.




Sunday, March 13, 2011

Jurnal Hukum Asuransi

Bagian I

PENDAHULUAN

A. Sejarah Asuransi

Diharapkan dengan mengawali pengetahuan tentang Sejarah Asuransi dengan lebih mudah karena akan lebih menghayati atau menjiwai tentang latar belakang dan asal usulnya. Dari penggalian sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia, sejak zaman sebelum masehi ditemukan riwayat asal usul sampai perkembangan asuransi seperti sekarang ini. Pada perkembangan awalnya asuransi tentu belum berbentuk seperti sekarang, namun dalam bentuk yang masih samar. Manusia pada umumnya mempunyai naluri selalu berusaha menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, termasuk ancaman kekurangan makan/pangan.

Salah satu riwayat mengenai masalah ini tercantum pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43 – 49 dan Kitab Injil Perjanjian Lama Genesis 41. Diriwayatkan tentang salah seorang Raja di Negeri Mesir yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang kurus-kurus masingrmasing menelan seekor sapi yang gemuk. Dalam mimpinya yang kedua Raja melihat tujuh butir gandum yang kosong. Nabi Yusuf A.S. diminta menafsirkan mimpi tersebut dan menerangkan bahwa negara Mesir akan mengalami tujuh tahun berturut-turut panen gandum yang subur dan kemudian tujuh tahun berikutnya berturut-turut akan mengalami masa paceklik. Selanjutnya NabiYusuf AS. memberi saran agar pada saat panen yang melimpah itu sebagian panen dicadangkan untuk masa paceklik yang akan datang.

Selain itu sebuah buku kuno dari India yang dinami “Rig Veda” yang ditulis dalam bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat tentang “Yoga Kshema” yang berarti pertanggungan. Riwayat di atas adalah sebagai bukti bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidupan masa depannya.

Sekitar tahun 2250 SM bangsa Babylonia hidup di daerah lembah sungai Euphrat dan Tigris (sekarang menjadi wilayah Irak), pada waktu itu apabila seorang pemilik kapal memerlukan dana untuk mengoperasikan kapalnya atau melakukan suatu usaha dagang, ia dapat meminjam uang dari seorang saudagar (Kreditur) dengan menggunakan kapalnya sebagai jaminan dengan perjanjian bahwa si Pemilik kapal dibebaskan dari pembayaran hutangnya apabila kapal tersebut selamat sampai tujuan, di samping sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi pinjaman. Tambahan biaya ini dapat dianggap sama dengan “uang premi” yang dikenal pada asuransi sekarang. Di samping kapal yang dijadikan barang jaminan, dapat pula dipakai sebagai jaminan berupa barang-barang muatan (Cargo). Transaksi seperti ini disebut “RESPONDENT/A CONTRACT”.

B. Sejarah Asuransi Di Indonesia

Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.

Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha pera.suransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :

  1. Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
  2. Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.

Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi.

Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris

C. Pengertian Asuransi

Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 :

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Pada hakekatnya asuransi adalah suatu perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan perusahaan asuransi (penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi.

Resiko yang dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian material yang dapat dinilai dengan uang yang dialami nasabah, sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang mungkin/belum pasti akan terjadi (Uncertainty of Occurrence & Uncertainty of Loss). Misalnya :

  1. Resiko terbakarnya bangunan dan/atau Harta Benda di dalamnya sebagai akibat sambaran petir, kelalaian manusia, arus pendek.
  2. Resiko kerusakan mobil karena kecelakaan lalu lintas, kehilangan karena pencurian.
  3. Meninggal atau cedera akibat kecelakaan, sakit.
  4. Banjir, Angin topan, badai, Gempa bumi, Tsunami

Setiap asuransi pasti bermanfaat, yang secara umum manfaatnya adalah :

  1. Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
  2. Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
  3. Transfer Resiko; Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
  4. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
  5. Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
  6. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
  7. Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha

Bagian II

ASURANSI KEBAKARAN

Memberikan pertanggungan pada harta benda berupa gedung/bangunan rumah, kantor, hotel, pabrik, toko, dan lain-lain, berikut isinya (perabotan, perlengkapan, furniture, mesin-mesin, persediaan bahan baku serta barang jadi dan lain-lain) terhadap kemungkinan kerugian yang disebabkan oleh resiko kebakaran, kejatuhan pesawat terbang, sambaran petir, peledakan dan asap.

Jenis asuransi kerugian yang memberikan jaminan/ganti rugi terhadap bangunan atau isinya akibat kebakaran. Resiko-resiko yang dijamin didalam polis Asuransi Kebakaran terdiri dari 2 (dua) bagian besar yaitu :

A. Jaminan Standar Asuransi Kebakaran

1. Kebakaran : Kebakaran yang ditimbulkan oleh api sendiri, akibat kurang hati-hati kesalahan pelayan sendiri, tetangga, perampok, ataupun sebab lainnya.

2. Petir : Kerusakan dan/atau kerugian terhadap harta benda yang dipertanggungjawabkan akibat tersambar petir.

3. Peledakan : Segala macam ledakan terkecuali ledakan yang ditimbulkan atau disebabkan oleh tenaga nuklir

4. Kejatuhan pesawat terbang : Kerusakan dan/atau kerugian atas harta benda yang dipertanggungkan akibat Kejatuhan Pesawat Terbang atu Benda-benda yang jatuh dari Pesawat Terbang.

5. Asap : Asap yang berasal dari kebakaran harta benda dan/atau kepentingan yang dipertanggungkan

B. Jaminan Tambahan atau Perluasan

Dengan tambahan Premi, maka jaminan Standard Asuransi Kebakaran Indonesia dapat diperluas dengan jaminan tambahan yang diinginkan.

Jaminan Terhadap Kerusakan Akibat :

  1. Kerusuhan dan Pemogokan, Kerusakan akibat Perbuatan Jahat, Tertabrak Kendaraan.
  2. Angin Topan, Badai, Banjir, dan Kerusakan Akibat Air.
  3. Tanah Longsor
  4. Biaya-biaya Pembersihan Puing

Objek Pertanggungan

Objek Pertanggungan untuk jenis Asuransi Kebakaran ini adalah segala jenis Bangunan dengan segala macam kegunaan (okupasi), dan/atai isinya (diluar harga tanah).

Tertanggung

Yang dapat menjadi tertanggung dalam polis Asuransi Kebakaran adalah Setiap orang pemilik Bangunan dan / atau isinya Bank atau Lembaga Keuangan lainnya yagn memberikan dana untuk pembelian dan bangunan dimaksud dijadikan agunannya.

Data atau Informasi yang Diperlukan Dalam Penutupan Asuransi Kebakaran adalah :

  1. Fungsi atau kegunaan bangunan (proses produksi yang ada dalam bangunan tersebut).
  2. Lokasi atau letak bangunan.
  3. Nilai Bangunan, isi (isi bangunan ini dapat berupa mesin, stock barang, dan lain-lain).
  4. Perkiraan luas bangunan dan luas lahan dimana bangunan itu berdiri
  5. Kondisi lingkungan sekitar letak bangunan (kiri, kanan, dengan maupun belakang dari bangunan itu berdiri).
  6. Komponen pembentukan dari bangunan (seperti atap, dinding, lantai, tiang, tangga, rangka dan lain-lain) juga diperlukan untuk diketahui.
  7. Informasi lain yang berkaitan dengan kepemilikan dari penghuni bangunan tersebut (apakah pemilik atau penyewa, dan lain-lain).

Prosedur Klaim :

  1. Memberikan laporan melalui telepon 1x 24 jam, disusulkan dengan laporan tertulis serta melengkapi dokumen pendukung
  2. Surat pengajuan klaim.
  3. Estimasi klaim yang diajukan.
  4. Bila diperlukan Perusahaan Asuransi akan menunjuk “Lost Adjusters” untuk melakukan penelitian dan perhitungan kerugian

Lingkup Jaminan Asuransi Kebakakaran

Polis Standar Kebakaran Indonesia (PSKI)

Polis yang dipakai dasar perjanjian asuransi kebakaran di Indonesia saat ini adalah “Polis Standar Kebakaran Indonesia” dikeluarkan oleh Dewan Asuransi Indonesia dan disingkat namanya menjadi “PSKI”.

Sebab-sebab terjadinya kebakaran ada 3 (tiga) faktor :

1. Faktor manusia (sabotase, sembrono)
2. Faktor alat/mesin (gesekan, sambung singkat)
3. Faktor alam (gunung berapi, petir)

Luas jaminan PSKI adalah sebagai berikut :

1. Akibat kebakaran
2. Akibat petir
3. Akibat ledakan
4. Akibat kejatuhan pesawat terbang
5. Akibat asap

Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa hal yang dikecualikan (tidak dijamin) adalah antara lain akibat-akibat dari :

  1. Kerusuhan dan perampokan.
  2. Gempa bumi/letusan gunung berapi.
  3. Angin topan. badai, banjir dan kerusakan akibat air.
  4. Arus pendek.
  5. Tanah longsor.
  6. Gangguan usaha akibat kebakaran (kerugian akibat tidak langsung).
  7. Kebakaran yang timbul dari sifat barang itu sendiri.
  8. Pencurian atau kehilangan barang pada saat terjadinya peristiwa kebakaran.
  9. Kesengajaan tertanggung, pelayan atau karyawan Tertanggung.

10. Diakibatkan oleh kebakaran hutan, semak, alang-alang dan gambut.

11. Akibat perang, penyerbuan, aksi musuh, dan sebagainya (lihat polis).

12. Reaksi nuklir.

Namun demikian, apabila Tertanggung menghendaki hal-hal yang dikecualikan tersebut ikut dijamin, maka antara Tertanggung dan Perusahaan Asuransi dapat mengadakan perjanjian tambahan, misalnya :

- Kerusuhan, Huru-hara, Terrorisme & Sabotase
– Tanah Longsor,
– Banjir, Genangan Air, Angin Topan dan Badai,
– Biaya Pempersihan,
– Gempa Bumi (dengan polis tersendiri).

Cara Mengasuransikan Asuransi Kebakaran :

Langkah-langkah yang dilakukan untuk mempertanggungkan sesuatu terhadap asuransi kebakaran adalah:

1. Menghubungi Penisahaan Asuransi/mengisi formulir yang disediakan

2. Petugas asuransi melalui survey atas obyek yang akan diasuransikan
Pada survey tersebut akan dilihat antara lain tentang :
a. Penggunaan bangunan/tempat barang yang akan diasuransikan
b. Jenis barang yang akan diasuransikan.
c. Konstruksi bangunan.
d. Alat pengaman/pemadam kebakaran.
e. Harga pertanggungan masing-masing barang yang bersangkut
f. Keadaan sekeliling masing-masing bangunan tersebut.

3. Berdasarkan hasil survey tersebut perusahaan asuransi akan membuat keputusan tentang :
a. Setuju tidaknya atas pertanggungan tersebut.
b. Besamya premi yang harus dibayar oleh Tertanggung.

4. Setelah itu barulah polis dan kwitansinya dibuat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

  1. Mengisi SPPA dengan baik dan sejujumya
  2. Mengasuransikan barang/bangunan sebaiknya seharga pasaran (nilai sehat)
  3. Untuk menentukan harga pasaran (nilai sehat) suatu bangunan hendaknya tidak dipengamhi oleh nilai jual beli misalnya karena daerah “elit” maka harganya lebih mahal, melainkan cukup dengan biaya membangun. Perlu dicatat pula, bahwa nilai tanah tidak perlu dimasukkan, karena wataupun terjadi kebakaran tidak akan musnah.
  4. Perlu dipertimbangkan, selain dari jaminan yang terdapat dalam polis tandar yaitu resiko kebakaran, peledakan. sambaran petir dan kejatuhan esawat terbang apakah perlu dimintakan perluasan dengan resiko :

- Kerusuhan, Huru-hara, Terrorisme & Sabotase
– Tanah Longsor,
– Banjir, Genangan Air, Angin Topan dan Badai,
– Biaya Pempersihan,
– Gempa Bumi (dengan polis tersendiri).

C. Prosedur Pengajuan Ganti Rugi Asuransi Kebakaran

Berdasarkan azas Indemnity, asuransi hanya dapat menempatkan kembali Tertanggung yang telah mengalami musibah kepada keadaan finansial sesaat sebelum terjadinya musibah tersebut. Jadi Tertanggung tidak dibenarkan mencari atau mendapat keuntungan dari klaim asuransi.

Adapun prosedurnya apabila terjadi kerugian, Tertanggung harus segera memberitahukan kepada pihak Penanggung tentang kejadian musibah yang dialami dan selanjutnya, dan selanjutnya memberi keterangan tertulis tentang hal ihwal yang diketahui mengenai kejadian kerugian.

Dokumen yang harus dilakukan dan dilengkapi untuk pengajuan suatu tuntutan/klaim asuransi kebakaran antara lain :

1. Pemberitahuan

Anda harus segera melaporkan kejadian kepada Penanggung (pihak asuransi). Laporan pendahuluan ini bisa disampaikan secara lisan atau surat, teleks, faksimili, dan lain-lain.

2. Laporan kerugian

Selanjutnya Anda harus mengisi laporan / keterangan tertulis yang memuat hal-ikhwal yang Anda ketahui mengenai kerugian / kerusakan yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut, dan blanko tersebut disiapkan oleh Penanggung (Perusahaan Asuransi).

  1. Tempat, tanggal, dan waktu terjadinya kebakaran / kerusakan
  2. Sebab-sebab kebakaran / kerusakan
  3. Besarnya kerugian menurut taksiran tertanggung yang dilengkapi dengan segala sesuatu yang terbakar, musnah, hilang, rusak dan terselamatkan
  4. Informasi lainnya yang menurut tertanggung perlu disampaikan kepada pihak asuransi

3. Dokumen pendukung klaim

Tertanggung harus menyerahkan dokumen pendukung klaim kepada penanggung, misanya buku-buku catatan, foto-foto kerugian, laporan dari BMG, dan sebagainya.

4. Penelitian Polis

Setelah menerima pemberitahuan adanya kerugian, penanggung akan melakukan penelitian mengenai keabsahan (validitas) polis, yaitu :

  1. Apakah penanggung memiliki kepentingan atas obyek yang mengalami kebakaran / kerusakan
  2. Apakah kebakaran / kerusakan terjadi dalam masa waktu pertanggungan
  3. Apakah premi telah dilunasi / dibayar

5. Penelitian Klaim

Apabila validitas polis telah terkonfirmasi, selanjutnya penanggung akan melakukan pemeriksaan / penelitian di lapangan untuk mengetahui :

  1. Penyebab terjadinya kebakaran / kerusakan
  2. Tempat terjadinya kebakaran / kerusakan
  3. Jumlah kerugian yang dialami (taksiran)
  4. Jumlah harga sisa dari bangunan / barang / mesin yang tidak terbakar / rusak (taksiran)
  5. Jika Anda kebetulan berada di tempat pada saat terjadinya peristiwa, maka Anda wajib :
  6. Menyelamatkan dan menjaga harta benda yang dipertanggungkan dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, serta mengijinkan orang lain menyelamatkan dan menjaga harta benda dan atau kepentingan tersebut.
  7. Memberikan bantuan sepenuhnya kepada pihak asuransi atau wakilnya atau pihak lain yang ditunjuknya untuk melakukan penelitian atas kerugian dan kerusakan yang terjadi.
  8. Menjaga keselamatan harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan yang masih bernilai.

Penunjukan Loss Adjuster

Dari hasil survei akan diketahui apakah klaim merupakan kasus sederhana atau rumit. Bila sederhana, maka klaim akan ditangani sendiri oleh perusahaan, tetapi jika rumit atau jumlahnya cukup besar atau penanganan klaim akan memakan waktu lama, maka claim assessment diserahkan kepada Loss Adjuster yang ditunjuk oleh penanggung dengan pemberitahuan kepada tertanggung.

Baik untuk kasus klaim yang ditangani sendiri maupun oleh Loss Adjuster, tertanggung harus tetap menyediakan dokumen-dokumen pendukung klaim. Tahap selanjutnya adalah penanggung mempelajari laporan dari Loss Adjuster.

Penyampaian

Dari proses penanganan klaim baik oleh penanggung sendiri maupun Loss Adjuster, akan diketahui validitas klaim. Dalam hal klaim dianggap valid, penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung jumlah ganti rugi yang dibayar atau yang menjadi tanggung jawab penanggung. Tetapi bila klaim dinyatakan invalid, maka penanggung akan memberitahukan kepada tertanggung bahwa klaim ditolak disertai alasannya. Jika jumlah ganti rugi yang dibayarkan tidak disepakati oleh tertanggung, maka tertanggung berhak menunjuk Loss Accessor untuk menilai ulang kerugian tersebut.

Penyelesaian

Setelah dicapai kesepakatan mengenai jumlah ganti rugi, pihak penanggung akan mempersiapkan pembayaran klaim. Penanggung akan melaksanakan pembayaran ganti rugi selambat-lambatnya sesuai dengan tenggang waktu yang telah ditetapkan.

Bagian III

KESIMPULAN

Setelah mengetahui lebih lanjut mengenai asuransi kebakaran, maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat menjadi nasabah dalam asuransi kebakaran adalah : seluruh individu atau badan usaha yang memiliki kepentingan atas objek yang diasuransikan dapat menjadi nasabah, yaitu :

- Pemilik obyek asuransi
- Penyewa obyek asuransi
- Bank / Lembaga Keungan Pemberi Kredit

Obyek Pertanggungan Dalam Asuransi Kebakaran

Obyek yang dipertanggungkan adalah bangunan, dengan contoh: rumah tinggal, maupun pabrik beserta isinya seperti contohnya mesin dalam pabrik, office, equipment, perabotan rumah tangga.

Harta Benda Yang Tidak Dapat Dijamin Dalam Asuransi Kebakaran

  • Barang antik/kesenian, barang yang disimpan atas dasar komisi/kepercayaan (barang titipan), emas batangan atau batu-batu permata/mulia yang belum dipasang.
  • Naskah, rencana, gambar atau disain, pola, model atau tuangan
  • Efek, obligasi, atau segala macam dokumen, perangko, cek, buku akuntansi atau buku usaha lainnya dan catatan sistem komputer
  • Namun demikian, objek diatas tersebut masih dapat dipertanggungkan dengan syarat bahwa objek dinyatakan secara tegas dalam polis.

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Premi dan Tarif untuk Asuransi Kebakaran

v Lingkungan sekitar bangunan tersebut.

v Kelas kontruksi bangunan tersebut.

v Peruntukan atau manfaat bangunan tersebut (okupasi).

v Tersedianya fasilitas pemadam api (springkler/hydrant/alat pemadam api ringan)

v Faktor-faktor lainnya

Untuk Asuransi Kebakaran, pada umumnya calon nasabah diharuskan mengisi formulir yang menjelaskan mengenai rumah yang akan diasuransikan. Sebagai contoh, akan ditaksir berapa kira-kira nilai rumah pada saat ini, apakah lokasi rumah tersebut dapat dilalui pemadam kebakaran atau tidak, berapa luas tanahnya, dan lain-lain. Dari formulir tersebut, pihak asuransi akan meneliti dan menentukan berapa Uang Pertanggungan-nya, dan dari situ akan ditentukan berapa premi yang harus ditanggung calon nasabah. Besar premi ini bervariasi pada setiap perusahaan asuransi, namun biasanya besarnya sekitar 0,05% dari Uang Pertanggungan-nya. Itu kalau untuk kebakaran saja. Kalau yang ditanggung tidak hanya risiko kebakaran, tetapi juga termasuk kecurian, kebongkaran dan sebagainya (komplet), preminya akan jadi semakin mahal. Biasanya kisarannya sekitar 0,2% dari Uang Pertanggungan.